Sebuah serangan dari luar angkasa. Langit bergemuruh. Belum usai sirene tanda bahaya mengaum, berkelebat cepat beberapa sosok aneh yang menyerang. Orang ramai berkelojotan dan sekarat. Kematian merengut dengan cepat tanpa memberi kesempatan mereka yang terengut itu untuk berpikir. Mereka yang selamat cepat beradaptasi. Makhluk luar angkasa itu tak punya mata. Hanya mengandalkan telinga. Jika ada suara, ke sanalah mereka akan memburu dan membunuh. Yang selamat itu termasuk sebuah keluarga.
Begitu plot pembuka sequel film A Quiet Place. Memori saya langsung terkoneksi dengan film pertama berjudul sama. Ada enigma yang belum terjawab di sana. Mengapa sebuah keluarga selalu hidup dalam ketakutan dan tak pernah bersuara?. Dari mana asal mahkluk asing yang memburu mereka?. Hingga ending film pertama, sutradara sekaligus aktor utama, Jhon Krasinski tak memberi petunjuk apapun. Yang kita tahu, keluarga itu dipaksa “bungkam” agar selamat. Makhluk asing itu bisa muncul dimana saja jika ada suara. Karena itu tak ada percakapan. Hidup bergelut dalam sunyi.
Di film kedua, kita jadi tahu asal muasal makhluk asing itu dan mengapa hidup harus dijalani tanpa suara. Hidup juga harus berlanjut. Ada perlawanan. Bintang film kedua A Quiet Place adalah Regan, anak perempuan satu-satunya dari keluarga itu yang tuli. Keterbatasan tak membuatnya menyerah. Kehilangan ayah dan adiknya membuat Regan yang cerdas harus berani mengambil resiko. Ia “melawan” karena tak mau kehilangan Ibu dan dua saudaranya yang tersisa. Regan diperankan dengan memukau oleh Millecent Simmonds, artis kelahiran Utah, 1 Maret 2003 yang sejak berusia 12 bulan ternyata sudah tidak bisa mendengar.
Yang bungkam, tidak bersuara, diam, tenang adalah pilihan. Sebuah sikap. Memilih disini sama dengan memberi batas. Mengambil yang satu dan melepas yang lain. Alasannya sangat beragam. Dalam A Quiet Place, keluarga itu memilih tak bersuara karena ada bahaya yang mengancam. Ada kesadaran kolektif yang dijalani dengan ajek. Tak ada protes. Tetapi yang bungkam, tak bersuara, diam dan tenang juga bisa datang dari sebuah keterpaksaan.
Orang ramai menyebutnya sebagai pembungkaman. Awalan “pe” yang berkombinasi dengan akhiran “an” pada kata dasar bungkam – merujuk pada kuasa. Ada sesuatu yang bekerja. Memaksa untuk patuh meski yang patuh itu juga binal dengan “penolakan”. Ada aktifitas dengan menggunakan alat, melalui sebuah proses dan pastinya ada perbuatan untuk membungkam. Ada rencana untuk mencapai tujuan dengan latar kepentingan yang berbeda.
Sejarah menuliskan dengan muram begitu banyak tokoh pergerakan yang dibuang ke Digul, Buru, Banda, Ende dan tempat-tempat yang sunyi. Belanda kala itu cemas dan takut. Tokoh-tokoh itu – yang mulutnya lebih berbahaya dari salak senapan karena terus berteriak merdeka – memang harus “dibungkam”.
Di tempat pembuangan, suara merdeka tak bergema. Tak ada komunikasi. Terkucil dalam sepi. Nasionalisme Indonesia yang mulai mekar harus dibinasakan. Namun saya selalu mengingat dengan bangga kiprah Oom Sau alias AM Kamaruddin, Daniel Bohang dan Ismail Sahjuan Sangaji – tiga putera Maluku Utara yang rela di-digulkan – karena menginginkan negeri ini bebas dari sengkarut penjajahan.
Wiji Thukul, penyair yang hilang tanpa jejak saat pembersihan aktifis pro demokrasi – yang menentang kuasa Soeharto – paska tragedi 27 Juli 1996 menuliskan “penolakan” untuk pembungkaman dalam bentuk puisi yang mengetarkan. “Sajak Suara”.
Sesungguhnya suara tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu hentikan nyanyian bimbang
Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
Suara suara itu tak bisa dipenjara
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu : pemberontakan!
Yang merdeka, yang bebas dan yang menolak diam itu adalah perlawanan terhadap sesuatu yang dianggap tak pantas. Perlawanan terhadap kuasa yang melebihi batas dan cenderung rakus. Perlawanan terhadap kekuatan yang hanya menzalimi mereka yang terpinggirkan. Melawan mereka yang lupa jalan untuk “pulang” memeluk mereka yang papa. “Kita seharusnya berjuang untuk mereka yang tak mampu berjuang sendirian”.
Jauh sebelum Wiji Thukul memanaskan kuping penguasa dengan puisi-puisinya yang garang, seorang Jenderal pemberani telah memberi “peringatan” kepada Soeharto. Peringatan yang lebih lembut dan penuh kekeluargaan. Disampaikan kala keduanya bermain bilyard di kediaman Presiden. Sang Jenderal meminta Soeharto untuk “menjauhkan” anak-anaknya dari bisnis dan kekuasaan. Soeharto tak menanggapi namun dirinya langsung masuk ke kamar. Seminggu sebelum Sidang Umum MPR tahun 1988, Jenderal berjuluk “Unsmiling General” – yang tak pernah tersenyum itu – “dibungkam” Soeharto dengan mencopotnya dari Panglima ABRI. Sebuah keputusan yang tak biasa namun kelak akan disesali Soeharto.
Nama Jenderal itu Leonardus Benjamin Moerdani. Kita mengenalnya dengan nama lebih pendek dan familiar ; Benny. Ia lahir di Cepu, 2 Oktober 1932. Ayahnya Raden Moerdani Sosrodirjo adalah salah seorang anak ulama terkenal asal Bima yang masih kerabat Sultan di sana. Ibunya Jeanne Roech, seorang perempuan khatolik blasteran Jawa dan Jerman. Benny mengikuti Ibunya. Namun latar keluarganya yang campuran itu membuatnya tak pernah mengangkat sumpah dengan dua jari sebagaimana biasanya penganut khatolik. Di berbagai sumpah jabatan yang dijalaninya, Benny selalu mengangkat lima jarinya. Ketika ditanya apa agamanya?. Ia tanpa sungkan menjawab ; Pancasila.
Kelindan Benny dengan militer bermula saat dirinya ikut menyerang markas tentara Jepang. Saat itu Benny masih pelajar kelas 1 sebuah SMP di Solo. Dalam serangan umum terhadap Kota Solo Agustus 1949, Benny ikut terlibat bersama ratusan tentara pelajar lainnya. Setelah itu, berbagai palagan dilaluinya dengan banyak sukses. Mulai dari operasi pembebasan Papua, Caltex di Riau, Garuda Woyla di Bangkok, selundupan senjata untuk Taliban di Afganistan, operasi ganyang Malaysia, Kamboja, Timor Timur hingga jadi pengawal kepercayaan Presiden Soeharto. Tak terhitung pula berbagai operasi intelejen yang dilakoninya. Penembakan misterius, teror peledakan BCA hingga Peristiwa Tanjung Priok menyeret dirinya di pusaran konflik kepentingan. Ia juga berburu harta Pertamina dan memenangkannya di pengadilan Singapura. Ia panglima tentara yang kokoh dan tanpa kompromi. Hidupnya adalah peperangan untuk kebenaran. Dan tak semua menerima Benny. Ia dibenci sekaligus dipuja.
Enambelas tahun setelah “pembungkaman” oleh Soeharto, kedua Jenderal yang sepuh itu bertemu dalam sebuah ruang sunyi di RSPAD Gatot Soebroto. Benny yang terbaring lemah hanya tersenyum saat bekas penguasa Orde Baru itu berkata lirih, “Kamu memang yang benar Ben, Seandainya aku menuruti nasehatmu, tak akan seperti ini”. Mata keduanya berkaca-kaca. Dua hari setelah pertemuan itu, Benny berpulang menghadap yang Menciptakan di akhir Agustus 2004 yang basah.
“Kesetiaan bukan berarti menjilat, melainkan mencegah (Soeharto) dari kesesatan yang justru dilakukan kaum penjilat itu”, begitu kata Benny saat dirinya disingkirkan dari lingkar terdalam kekuasaan. Dengan itu, kita akan selalu merindukan sosok Benny dan mereka yang selalu menolak untuk “dibungkam”. Karena penolakan mereka adalah kumpulan oase untuk perbaikan. Sebuah jeda untuk merenung.