HAL-SEL:SARUMANEWS.COM — Praktisi hukum Bambang Joisangadji, S.H., menegaskan bahwa dua perkara dugaan kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, merupakan tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme mediasi maupun pendekatan kekeluargaan. Ia menyebut, kedua kasus tersebut adalah delik biasa yang wajib diproses melalui jalur hukum pidana.
“Ini adalah kejahatan serius terhadap anak. Tidak boleh ada ruang damai, apalagi dimediasi oleh aparat penegak hukum. Itu keliru secara etik dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujar Bambang kepada SarumaNews, Kamis, 10 Juli 2025.
Kasus pertama berkaitan dengan dugaan pemerkosaan terhadap seorang siswi SMK di Obi oleh enam orang pelaku. Berdasarkan keterangan keluarga korban, mereka diundang oleh pihak Polsek Obi dalam sebuah pertemuan yang juga dihadiri keluarga pelaku serta beberapa aparat, dengan dugaan kuat bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menempuh penyelesaian secara kekeluargaan. Pihak keluarga korban menolak keras pendekatan tersebut.
Kasus kedua menyangkut dugaan pencabulan sesama jenis terhadap tiga siswa oleh seorang guru kesiswaan di salah satu SMA Negeri di wilayah tersebut. Laporan terhadap kasus ini telah diajukan sejak 11 November 2024, namun hingga saat ini belum ada penetapan tersangka oleh pihak berwenang.
“Kedua kasus ini harus menjadi peringatan keras. Penyelesaian perkara kekerasan seksual terhadap anak di luar proses peradilan merupakan pelanggaran hukum serius. Baik pelaku maupun aparat penegak hukum tidak dapat berlindung di balik dalih ‘pendekatan damai’,” tegas Bambang.
Bambang merujuk pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang secara tegas menyatakan bahwa perkara kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar mekanisme peradilan, kecuali apabila pelakunya adalah anak.
Lebih lanjut, ia menyoroti ketentuan Pasal 76D jo. Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 UU TPKS, yang mengklasifikasikan tindakan kekerasan seksual terhadap anak sebagai delik umum. Artinya, aparat penegak hukum memiliki kewajiban proaktif untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan tanpa laporan resmi dari korban.
“Begitu terdapat informasi yang dapat dipercaya mengenai peristiwa pidana, maka penyidik wajib menindaklanjutinya. Jika aparat menempuh mediasi atau mengabaikan informasi tersebut, institusi penegak hukum berpotensi melakukan pelanggaran hukum,” tegasnya.
Bambang menekankan bahwa para pelaku dapat dijerat dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak, yang mengatur ancaman pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun, serta pidana tambahan berupa denda. Jika pelaku memiliki hubungan kuasa atau kepercayaan terhadap korban, seperti guru atau aparat, maka ancaman pidana dapat diperberat sepertiganya.
“Guru adalah pelindung, bukan predator. Ketika pelaku adalah orang yang dipercaya untuk mendidik dan mengasuh anak, maka negara harus bertindak lebih tegas. Tidak boleh ada kompromi,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Bambang menegaskan bahwa keadilan dalam perkara kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya ditentukan oleh vonis akhir, tetapi oleh proses hukum yang transparan, akuntabel, dan bebas dari intervensi politik maupun negosiasi informal.
“Negara wajib hadir secara penuh dalam perkara kekerasan seksual terhadap anak. Penegakan hukum bukan semata-mata menghukum pelaku, tetapi juga memastikan proses penegakan hukum berjalan secara adil dan tidak dikompromikan sejak awal,” tutupnya. (Adelia)